Minggu, 25 April 2010

Berita Kampus

Langkah Pasti Menuju Qatar

Puluhan mahasiswa dari berbagai Universitas se-provinsi Riau memasuki ruangan aula pustaka yang terletak tinggi disebrang jalan gedung Rektorat Universitas Lancang Kuning. Dengan mengenakan almamater kuning panitia menyambut hangat kedatangan mereka. Tepat pukul 08.00 wib mengawali pertemuan mahasiswa peserta Seminar and Debate Tournament British Parliamentary, Jum’at (2/4).

Kompetisi debat ini dilaksanakan selama tiga hari (2-4 April 2010). Hari pertama bertempat di aula pustaka Unilak dan disuguhi dengan seminar yang bertujuan untuk memberi bimbingan, motivasi dan arahan kepada peserta tentang bagaimana proses yang harus mereka lakukan dalam acara kompetisi yang merupakan program tahunan dikti ini. Hari berikutnya peserta berkompetisi mulai pukul 08.00 hingga pukul 18.00 wib dan bertempat di sembilan ruang kelas FKIP Unilak.

Debat ini ini menghadirkan 72 orang mahasiswa dari 12 Universitas yaitu UIR, UR (Universitas Riau), UIN, Persada Bunda, UPP (Universitas Pasir Pangaraian), UMRI, PCR, UNISI, STAI Tambusai dan Universitas lain yang ada di provinsi Riau. Peserta debat Bahasa Inggris ini bertarung didalam 32 team yang terdiri dari 2 mahasiswa di setiap teamnya. Pada kesempatan emas ini Unilak diwakili oleh 7 team. Untuk juri berasal dari UIR , PCR, UPP, dan UIN Tembilahan.

Debat british parliamentary ini terdiri dari 4 kategori, Opening Government (OG), Closing Government (CG), Opening Opposition (OO), dan Closing Government (CG).
Promotor Debate Syaifullah, M.Pd Kajur Bahasa Inggris FKIP, mengatakan iven ini diperuntukan bagi seluruh mahasiswa tidak hanya untuk mahasiswa FKIP Bahasa Inggris saja akan tetapi mahasiswa jurusan apapun dan Universitas manapun juga berhak untuk ikut andil dalam debate berbahasa inggris ini.

“Debate british parliamentary ini untuk seluruh mahasiswa baik itu bahasa inggris maupun tehnik apapun jurusannya itu dituntut yang pertama adalah daya critical thinking nya” kata syaifullah, ketika ditemui Visi pekan lalu.
Kompetisi yang bertujuan untuk menjalin hubungan silahturahmi ini merupakan program pertama dikti yang diadakan di Unilak.

“kebetulan kita salah satu personil dari Unilak dan karna ini adalah acara perdana, jadi team kita sepakat semuanya untuk melaksanakannya di Unilak, ada 4 orang yang menjadi team saya selaku ketua, bu Safenis dari UIR selaku sekretaris, pak Zainal dari PCR sebagai wakil dan bu asri dari Stikom selaku bendahara” kata Syaifullah menjelaskan.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa acara ini bukan hanya kompetisi yang sekali habis, akan ada kompetisi lanjutan dimana setelah program ini team yang lolos 8 besar akan dikirim ke Kopertis selanjutnya 4 team pemenang berikutnya di kirim ke Jakarta dan 2 team dikirim ke Qatar bagi Universitas swasta, sedangkan Universitas negri langsung dikirim ke Jakarta tingkat nasional dan bagi team yang lulus di jakarta langsung dikirim ke Qatar tingkat internasional.”peserta yang nantinya lulus pada tingkat nasional diberi jaminan oleh dikti yakni berupa lowongan kerja” kata ketua program debate provinsi Riau ini.

Menurut hasil laporan dari ketua panitia pelaksana turnamen debat, Rozi Alfian, mengatakan peserta yang masuk delapan besar diantaranya team dari PCR (Randi-Richard), UR (Diman-Dedi), Persada bunda (Kasman-dede), UIR (Ari-Agustim), 2 team Unilak (Wahyu-desi & Jenni-Inun), serta Anita-Mentari dan Danil-Alfan. Pemenang pertama diraih oleh team dari Persada Bunda, posisi runer-up diraih oleh team dari UR, dan sebagai kategori pemenang ketiga diraih oleh team dari Unilak.
Peserta debat (debater), Kasman mengatakan bahwa ia sangat bangga bisa mengikuti program debate perdana di Riau ini. “Saya sangat bangga karna program ini continuous, saya juga bangga bisa ketemu banyak teman banyak relasi juga disini tidak hanya dari persada bunda tapi dari seluruh Universitas di Riau, jadi kita bisa melihat performance mereka masing-masing itu sangat luar biasa” kata Kasman, mahasiswa semester 6 Persada Bunda selaku pemenang juara peratama. •Visi (Ana/Opi).

Berita

Indra “Menunggu Dalam Tak Pasti”

Ibarat pepatah ”Telah memutih mata menanti, tapi yang dinanti tak kunjung tiba,” demikianlah ungkapan yang tepat untuk pasangan Indara Sani dan Jemmy Astario atas hasil Pemira lalu. Ketegasan dari masing – masing pihak tak menunjukkan bahwa keputusan akan segera mengerucut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

Mengambang, tak jelas, dan tidak ada solusi membuat nasib calon Presma Unilak ini terkatung – katung. Sehingga tak urung menyebabkan semakin mandegnya roda organisasi di Kampus Unilak.

Menyambut keterangan Rektor Unilak Sudi Fahmi dalam Visi edisi 38 lalu, bahwa hasil pemira sah dan akan diresmikan pada saat Pelantikan pengurus IKA (Ikatan Keluarga Alumni) Januari lalu, tetap nihil. Hal ini ditanggapi dengan bijak oleh Indrasani saat ditemui Visi dua pekan lalu.

” Hanya menunggu kepastian,” demikian Indra menyebutkan secara singkat.

Karena ia mengakui telah menunggu selama empat bulan lebih, tapi tetap belum ada keputusan resmi. Tak urung membuat langkahnya tertahan menjalankan program kerja dan rancangan agenda kegiatan organisasi yang telah dipersiapkan.

”Semua kembali pada rektorat, sedangkan BAP telah ada hanya menunggu kepastian saja. Yang penting adalah kekompakan,” terangnya.

Meskipun dalam berbagai event yang berlangsung di lingkup external kampus, ia tetap menghadiri pertemuan itu. Namun bukan dalam kapasitas dirinya sebagai Presiden Mahasiswa (Presma) Unilak, tapi hanya sebagai peminang Pemira.

Indra hanya menyesali keputusan sepihak yang jelas merugikan dirinya. Akibat terkatung – katung keputusan ini membuat dirinya tak dapat melakukan kegiatan dalam mengatasnamakan BEM Unilak. Karena akan dianggap aksi illegal. Padahal tawaran dari berbagai pihak telah banyak datang kepadanya untuk melakukan kerjasama. Ia hanya dapat gigit jari melihat kenyataan yang ada. Secara de facto Indra dan Jemmy keluar sebagai pemenang Pemira, tapi secara administratif tidak. Karena SK belum keluar.

” Belum menjabat sebagai Presma Unilak bagaimana memperjuangkan mahasiswa?”, ungkap Indrasani pada Visi.

Karena tidak tahu dalam koridor sebagai apa akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa. SK belum ada sehingga menteripun tidak bisa dikondisikan. Jika surat sakti tersebut telah keluar maka ia akan segera memenuhi janjinya.•Visi(Reni/Ivo)

AIR MATA UNTUK SAHABAT “SEMANGAT ITU TETAP MEMBARA DI SINI”

Awal Januari 2010, mendung menggelayuti menembus batas mega – mega yang senantiasa berwarna putih dan cerah. Tawa bahagia yang senantiasa menghiasi bibir – bibir manis, sontak berubah menjadi tangisan sepanjang malam. Siapa yang pernah menduga, jika kebahagiaan dan tawa yang dihadirkannya menjadi tawa terakhir atas persahabatan yang terbina selama ini.

Senyuman cerahnya menebar rumah sakit bercorak putih, kiri kanan dipadati oleh keluarga pasien. Tepat di ruang tunggu HCU, semua rekan – rekan Visi berkumpul. Sebuah kecelakaan dipenghujung Desember lalu, telah menimpa Nurhasanah ( Pimred Visi) dan Nur Haida ( Layouter Visi). Semua hadir diruangan itu untuk memberikan semangat dan kasih sayang agar Nurhasanah bisa selamat dari maut.

Sekitar pukul 18.00 wib, mengenakan baju kemeja berwarna merah dan senyum khas ramah memancar dari bibirnya yang dihiasi oleh janggut tipis. Senyuman dan canda tawanya menghiasi dan menyapa hangat semua sahabatnya tanpa ada yang terlewatkan. Saat cacing – cacing di perut ini mulai melilit, beriring – iringan Reni, Jannah, Uli, Ana, Zaitun, dan saya ( penulis) mencari rumah makan terdekat di sekitar lokasi Rumah Sakit Santa Maria. Terbagi dalam dua meja yang saling bersebrangan, tapi tak membuat selera makan ini berkurang.

“Hari ini saya yang teraktir,” ucapnya.

“Waduh, banyak duit nih,” ucap Reni.

“Alhamdulillah, dapat dana beasiswa kemarin. Jadi bisa saling bagi – bagi,” jawabnya santai dan merogoh uang merah seratus ribu kepada kasir.

Semua yang ada tertawa mendengarnya dan sangat senang dengan suasana makan gratis ala rumah makan Padang. Spontak si centil Uli berteriak,”Nan, telor rebus satu ya,” teriaknya diikuti aksi yang serupa oleh Reni si Sekretariat Visi.

Pria yang akrab dengan nama icon detektif kartun itu senyum – senyum manis melihat aksi kocak gadis – gadis yang heboh itu. Akhirnya kami semua berombongan kembali ke ruang perawatan saat azan magrib telah berkumandang dan masing – masing menunaikan ibadah secara bergantian.

“Kawan – kawan saya permisi mau pulang dulu,”pamitnya undur diri saat jam dipergelangan tangan telah meranjak melangkah ke pukul 19.30 wib.

“Kamu balik kemana?”, tanyaku saat ia menghampiriku.

“Ke Minas kak”

“Hari sudah malam, besok saja,” ucapku membujuknya.

“Tidak apa kak, sudah biasa.”

“Yuk, teman – teman saya pulang. Assalamu’alaikum,” ucapnya dan meninggalkan semua sahabatnya yang masih setia menunggui di ruang HCU memastikan kondisi terakhir Nurhasanah yang ternyata mengalami gegar otak ringan akibat kecelakaan di Jalan Rowosari Rumbai. Sebuah sepeda motor melaju kencang saat melintasi sebuah belokan. Tak ayal kecelakaan itu tak dapat dihindari. Niat semula hendak makan siang beramai – ramai di rumah makan lesehan di daerah Rowosari berakhir di rumah sakit Santa Maria. Nurhaida mengalami bengkak di kaki kanan. Tapi, sayang tak ada yang memperdulikannya hingga terbaring lemah di kosan. Karena semua perhatian tertuju pada Nurhasanah yang mengalami shock berat akibat kecelakaan dan muntah sepanjang perjalanan. Kesetiaan Eko Paryono akhirnya membayar semua kesakitan yang dialami sigadis cilik nan imut ini. Pertolongan seorang tukang urut telah mengembalikan kondisinya untuk bisa berlari selincah kancil.

***

Saat lelah menghampiriku sesampai dikosan berlantai tiga, sebuah telpon masuk di ponsel mungilku.

“Conan kecelakaan di Palas,”suara disebrang sana mengagetkanku.

“Apa? Siapa?” ulangku.

“Iya, Conan kecelakaan,” suara Rohani disebrang sana terdengar sangat tergesa – gesa dan nafasnya yang tersengal.

“Kondisinya?”

“Ia meninggal dan kami sedang di TKP. Tolong kabari segera pada keluarganya,” pinta pria yang akrab dipanggil Heru.

Usai berkata demikian pembicaraan terputus dan aku berada dalam alam kembimbangan antara sadar dan tidak. Aku tidak percaya dengan apa saja yang baru didengar oleh daun telinga ini. Betapa sangat inginnya aku berharap bahwa ini hanyalah canda tawa teman – teman yang usil, demikian anganku. Aku tersandar dipinggiran kasur masih dengan tangan memegang handphone erat.

Memoriku berputar pada kebersamaan yang dilalui bersama ia yang kini telah tiada. Senin, 11 Januari 2010 menjadi sebuah tangisan pilu semua sahabatnya di kampus berlogo Burung Hantu. Ali Musa, pria kelahiran 1986 silam ini telah menghadap Sang Pencipta sekitar pukul 21.00 wib seusai diskusi dengan Amalludin ( Mantan Ketua UKMI Al- Fatah Unilak). Menurut informasi yang diberikan oleh pihak Polsek Palas mengatakan bahwa kematiannya murni akibat kecelakaan. Korban menabrak mobil truk yang tengah berdiri di lintas jalan Rumbai – Minas. Tak ada saksi mata yang dapat membuktikan kebenaran itu. hingga akupun tak tahu harus bertanya pada siapa saat melihat sosok jenazahnya di kamar mayat Rsud Arifin Ahmad jam 23.00 wib lalu.

****

Senin, 11 Januari 2010 Pukul 23.00 wib pembuktian cerita. Semua kru Visi dan sahabatnya tak percaya dengan berita itu, semua menganggap itu adalah sebuah lelucon. Karena jauh sebelum kecelakaan tersebut, ada beberapa telpon iseng yang mengatakan bahwa anggota Visi ada yang meninggal. Tapi itu hanya isu belaka. Rasa tak percaya itu akhirnya terbayar sudah saat jenazahnya terbujur di mobil polisi lengkap dengan pakaian dan tasnya. Tubuh itu telah kaku, bibirku membeku, tatapannya kosong, sebuah benturan menghantam dahinya hingga darah menetes.

Tanganku memegang tasnya, basah. Ku fikir itu adalah air, tapi saat mata ini melihat ada yang merah dan aliran panas menyentuh kulitku. Ternyata darahnya yang menempel di tangan kanan ini, ada getaran yang tak mampu ku ungkap dengan kata. Darahnya masih segar dan terasa panas, usai kecelakaan sekitar dua jam lalu. Hingga akhirnya aku segera membasuh tangan pada kegenangan air di lantai ruangan mayat tersebut.

Semua sahabatnya di Kampus Kuning menyemuti ruang mayat RSUD Arifin Ahmad. Semua temannya di berbagai organisasi yang diikutinya turut hadir dan tak ketinggalan sahabatnya sesama aktivis dari kampus lain.

Seorang wanita yang bertubuh subur, cantik, berkerudung duduk dipelataran rumah sakit dengan lafaz istigfar yang tak henti mengalir dari bibirnya. Matanya sembab, aku merangkulnya erat. Kesabaran dan kekuatan imannya terpancar dari ketegarannya menerima takdir. Ummu Jasmani, dari rahimnya lahirlah seorang Ali Musa. Kenangan terakhirnya bersama sibuah hati dipenghujung hayatnya tak dapat ia pungkiri ada sesuatu yang hilang. Sebuah permata yang takkan pernah kembali lagi ia miliki.

Dimata sang bunda sosoknya sangat santun, berbudi, ta’at terhadap agama dan perintah Allah. Air mata menetes dari kedua pelupuk matanya, karena ia takkan pernah lagi mendengar alunan azan dari putranya yang senantiasa berlari ke masjid dekat rumahnya untuk azan Shubuh saat semua mata terlelap. Ataupun suara merdunya saat mengalunkan ayat suci usai sholat fardhu.

Seluruh keluarganya hadir malam itu, Ali Musa meninggalkan ayahnya Abu Zulfar yang menatap jenazah putranya dengan bahasa yang sukar dilukiskan. Saudaranya ukhti ani, ukhti oja, ukhti bucia, ukhti yesi dan akhi eki dalam kesabaran yang tiada tara.

Siapa yang tak kenal Ali Musa, mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer (Filkom) angkatan 2008 ini, seorang aktivis muda, penuh semangat membara dan senantiasa mau untuk belajar. Kegigihan dan kecintaannya terhadap organisasi dan kampus terlihat dari aktivitasnya yang sebagian besar di kampus Unilak. Bahkan menjelang ajal menjemput, ia baru saja meninggalkan kampus pada pukul 21.00 wib hanya untuk membahas organisasi.

Diusianya yang masih sangat belia, semangat tinggi, kritis dan vokal, pria muda ini adalah harapan ke depan bagi lahirnya aktivis kampus. Semangatnya di UKM Pers VISI terasa begitu hidup. Kecintaannya terhadap dunia jurnalistik telah menghantarkannya ikut dalam pelatihan Tingkat Lanjut di Tapis Berseri, Lampung tahun lalu. Ia bergabung di Visi tahun 2009 lalu dan baru diangkat sebagai kru tetap Juni 2009.

Sebuah perjuangan dan semangat yang jarang ditemukan dalam perkembangan kehidupan kampus kita. Masih akankah lahirnya Ali Musa atau Conan lain di kampus kita? Yang dengan semangat membara mempersembahkan yang terbaik untuk kampus dan mengharumkan nama Universitas Lancang Kuning di dunia luar? Sudah selayaknya hati kita semua terketuk, bahwa waktu sangat sempit. Ajal tak mengenal usia dan kesempatan untuk berbuat baik dibatasi oleh waktu.

Masih ada waktu bagi semua sahabat di Kampus Kuning ini untuk kembali bersatu, bahu membahu, berfikir ke depan dengan berbagai pertanyaan. Apa yang telah aku persembahkan untuk kampusku? Apakah aku telah sungguh – sungguh berkorban untuk mengerahkan fikiran dan tenaga membuat kampus kita menjadi yang terbaik? Apakah kita telah satu suara untuk melangkah? Masihkah ada suara – suara sumbang yang senantiasa saling lempar kesalahan?

Kampus Kuning telah kehilangan satu pilar, tapi kehilangannya akan melahirkan ribuan pilar lain yang akan membuat Unilak bersinar. Semua perselisihan dan keegoan dari hati kita semua harus diredam. Kesuksesan itu tak hanya bisa dicapai bila hanya satu yang bekerja. Ibarat lidi yang berserakan jika ia tak ada arti. Namun jika lidi itu yang berserak itu disatukan dan diikat barulah dapat dirasakan manfaatnya.

Sosoknya telah tiada, UKM Pers Visi pun telah kehilangan aset terbaiknya. Namun tak boleh surut untuk melangkah. Perjuangan itu harus dilanjutkan bagi kita semua yang masih cakap dan memiliki waktu untuk berbuat. Tak guna saling tuding siapa yang benar dan siapa yang salah, tapi temukanlah solusi.

Selamat jalan sahabat, ragamu telah tiada di sini, tapi semangat juangmu akan terus hidup dan membara.•Visi (ivo)

Selasa, 06 April 2010

Kunjungan Ke Tribun Pekanbaru

Semangat Peserta Dalam Sesi "Lay Out" Pemateri Sobirin Zaini S.Ip

Suasana Diskusi Reportase Dasar Ke-VIII

Artikel


Edisi ke 39
Kolom Artikel


Demo(n)Terasi
oleh : Satria Batubara S.Kom


Demonstrasi. Ada kesan luar biasa ketika menyebut kata ini sebelum gelombang reformasi melanda Indonesia. Melakukan aksi demonstrasi saat rezim orde baru masih berkuasa, berarti harus sudah siap lahir bathin untuk menanggung berbagai resiko yang tidak diinginkan. Resiko paling umum adalah diciduk aparat dan diinterograsi berjam-jam lengkap dengan gaya-gaya intimidasi dan teror mental. Sedangkan resiko paling berat adalah diculik atau hilang malam dan tak bakalan nampak lagi batang hidungnya.

Pada masa-masa itu, demonstrasi adalah simbol perlawanan dan perjuangan atas penindasan dan perlakuan tidak adil yang dilakukan aparat negara. Demonstrasi juga sebuah hajatan yang dilakukan melalui perencanaan dan perhitungan yang matang dengan tujuan yang jelas dan pasti.

Kesan sakral dan heroik ketika menyebut kata demonstrasi itu kini telah berubah. Demonstrasi setelah negeri ini menikmati era reformasi tak ubahnya aktivitas sehari-hari yang tak ada istimewanya. Demonstrasi sama biasanya seperti kita pergi kuliah atau pergi ke kantor untuk mencari nafkah. Bahkan, pada kondisi-kondisi tertentu, aksi demonstrasi mulai ditanggapi sebagai aktivitas kurang kerjaan dan bahkan dinilai mengganggu kenyamanan.

Aksi demonstrasi memang sudah menjadi pemandangan sehari. Ada saja kelompok masyarakat yang menyampaikan aspirasinya dengan melakukan aksi turun ke jalan. Demonstrasi juga bukan lagi domain istimewanya para mahasiswa, sebab berbagai unsur masyarakat, mulai dari buruh, guru, kepala desa, bahkan anak-anak SD pun sudah piawai pula berorasi sambil menenteng aneka spanduk.

Dalam konsep demokrasi, menyalurkan aspirasi melalui demonstrasi atau unjuk rasa memang hal yang biasa disamping menyalurkannya melalui jalur politik dengan mengadu kepada wakil rakyat atau menyampaikan gagasan lewat media massa. Di Indonesia aksi demonstrasi juga diakui dan diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 9 Tahun 1998 yang menjelaskan, bahwa hak para demonstran meliputi hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas, serta hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Sedangkan kewajiban para demonstran dalam melakukan demonstrasi, meliputi kewajiban untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum yang berlaku, serta berkewajiban untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Persoalannya, sejauh apa dampak aksi demosntrasi dalam upaya menyelesaikan permasalahan yang berlangsung dan seberapa efektif aksi demonstrasi membuat orang-orang yang dituntut memenuhi aspirasi mereka yang melakukan demonstrasi? Faktanya, tidaklah siginifikan. Bahkan, seiring dengan pengetahuan masyarakat (termasuk mahasiswa) terhadap eksistensi, fungsi, dan bentuk demonstrasi mahasiswa, saat yang sama ada gejala masyarakat mengapriorikan demonstrasi itu sendiri.

Demontrasi kehilangan dukungan bukan karena eksistensi, fungsi, dan bentuknya bertentangan dengan kehendak masyarakat, melainkan karena demonstrasi telah mengalami titik jenuh! Setiap anggota di dalam masyarakat kini bisa berhimpun lalu berdemonstrasi, ada atau tanpa kehadiran aktivis (gerakan) mahasiswa. Demonstrasi pada era transisi rezim mengalami pengklimaksan secara jumlah. Demonstrasi makin membiak, tidak lagi eksklusif sebagai lahan kerja gerakan mahasiswa. Yang lebih ironis, demosntrasi kini malah telah menjadi sumber mata pencaharian orang-orang tertentu, bahkan segelintir oknum mahasiswa. Demonstrasi telah menjadi barang orderan. Ada uang ada aksi.

Masyarakat Indonesia sebenarnya sudah jenuh dengan berbagai aksi demonstrasi yang selalu mengatasnamakan rakyat yang akhirnya justru malah menimbulkan kesengsaraan pada rakyat. Demonstrasi jika diselenggarakan dengan ”keliaran” dan brutal sesungguhnya menginjak-injak demokrasi. Karena, selain mengajarkan kebebasan mengekspresikan pendapat, demokrasi juga menganjurkan teknik, prosedur, dan mekanisme yang beradab serta menghormati perbedaan pendapat. Bahkan itulah inti demokrasi.

Melihat fenomena aksi demonstrasi yang semakin tidak mendapat apresiasi positif dari masyarakat, maka perlu dipikirkan oleh para aktivis mahasiswa untuk mencari format baru gerakan mahasiswa dalam menjalankan perannya sebagai sosial kontrol danagen perubahan, misalnya, dapat diwujudkan melalui peran pemberdayaan dan pendidikan politik, advokasi, bahkan ligitasi terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Sekalipun tak dapat kita pungkiri bahwa tingkat masivisitas format itu masih terhalang oleh kultur gengsi mahasiswa, tetapi jika mampu dibangun secara perlahan-lahan tentu akan lebih menemukan signifikansi gerakan mahasiswa untuk berpartisipasi menyelesaikan persoalan bangsa ini.

Selain itu, peran mahasiswa yang harus tetap dipertahankan adalah dalam kerangka gerakan politik yang dijalankan. Ruang lingkup politik kekuasaan negara selayaknya memang harus mulai ditinggalkan oleh gerakan mahasiswa. Kembali ke tengah kancah, dalam arti, mengembangkan kultur politik kebangsaan yang mengedepankan prinsip bahwa gerakan mahasiswa adalah media atau jembatan untuk mengontrol pemerintah dalam setiap pembuatan kebijakan dan mengaspirasikan kepentingan rakyat.

Penulis percaya bahwa saat krisis kepercayaan sudah begitu parah melanda negeri ini, kata-kata dan janji-janji sudah tidak ada artinya lagi. Kepercayaan rakyat hanya dapat diperoleh dengan melakukan aksi nyata yang bermanfaat, sekecil apapun aksi tersebut. Masyarakat pasti akan berterima kasih kepada mahasiswa yang turun langsung ke desa-desa membantu menyelesaikan riildi desa itu daripada kepada mahasiswa yang sibuk teriak-teriak soal bangsa dan negara di gedung DPR RI tapi tak berbuat apa-apa bagi masyarakat di sekitarnya.

Sudah saatnya gerakan mahasiswa tidak lagi mengandalkan demonstrasi sebagai wahana penyampaian aspirasi dan tuntutan. Kalau pun memang dirasa perlu, demosntrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang santun, tidak anarkis, tidak mengganggu ketertiban umum, dan murni untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Yang tidak kalah penting, harus ada langkah kongkrit untuk menindaklanjuti aksi demonstrasi tersebut, baik dengan cara-cara lobi, negosiasi maupun advokasi. Kalau tidak, maka demonstrasi hanyalah akan menjadi demo terasi alias demo yang baunya kemana-mana seperti halnya bau terasi, tapi hasilnya cuma nol besar.

Penulis
Dosen UIN Susqa