Kamis, 06 Mei 2010

Feature

Bercermin Pada Beringin Indah
oleh Ivo Yasmiati

MENYUSURI jalan menuju kawasan SP-3, sejauh mata memandang yang terlihat hanya sawit. Tanaman penghasil minyak goreng ini, berbaris rapi layaknya shaf sembahyang. Berjarak 76 kilometer dari pusat ibukota Propinsi Riau, perjalanan menuju kawasan desa ini memakan waktu dua jam dengan rute Libo-Kandis-Minas-Pekanbaru. Desa ini salah satu proyek transmigrasi yang diberdayakan oleh Presiden Soeharto, untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa.

Bau menyengat kotoran kambing cukup menusuk hidung saat memasuki gerbang desa. Jalan – jalan belum semuanya di aspal. Untuk sampai ke desa ini melewati kuburan warga yang luasnya tidak seberapa. Sayup – sayup telinga di sambut merdunya kicauan suara burung dan nyanyian belalang.

Perjuangan masyarakat transmigran ini luar biasa. Tahun 1985, warga Cianjur ini berangkat menuju Pekanbaru dengan pesawat Hercules milik TNI dan menuju pemukiman trans dengan menggunakan bus.

Desa Beringin Lestari, Kecamatan Tapung Hilir ini secara geografis masuk ke Kabupaten Kampar, terpisah tipis dengan Kabupaten Siak sekitar 5 kilometer. Perbatasan ini ditandai dengan pos satpam PT. Sinar Mas yang terletak di Sei Rokan.

Lahan seluas 1680 hektar ini, dulunya berupa hutan belantara. Yang hanya dilalui oleh truk – truk besar kayu balak, untuk mengambil bahan baku kertas. Area ini dikenal dengan perampok. Tidak ada tanda kehidupan, tidak ada penduduk, dan tidak ada penerangan. Sebanyak 150 kepala keluarga, diungsikan ke hutan rimba ini. Sebagian besar, awalnya merasa takut, getir dan menyesal telah merantau ke kampung tak bertuan ini.

Bila malam tiba, suasana sangat mencekam. Warga diselimuti ketakutan sangat tinggi. Terlebih tidak adanya listrik sebagai sumber penerang. Hal yang cukup menggembirakan hanya satu pembagian rumah secara gratis dan pemberian jatah kebutuhan pokok selama satu tahun yaitu beras, minyak, dan ikan asin.

Ntin Rukmini, wanita asal Cianjur ini mengatakan kehidupan warga sungguh sangat memprihatinkan. Karena dari tahun 1985 hingga 2000, kehidupan masyarakat sangat miris. “Banyak warga yang tidak tahan dengan keadaan ini, hingga memutuskan kembali ke Jawa. Karena tidak adalagi yang hendak dimakan. Bahkan sebagian besar menjual lahannya kepada pendatang,” terangnya menerawang jauh mengingat kenangan bersejarah dalam hidupnya.


Terutama saat adanya serangan gajah. Semula petani menanam kedelai. Hampir seluruh desa di hiasi tanaman kecambah. Namun, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih. Rombongan gajah membabi buta memasuki kampung hingga memakan hasil panen yang telah ditunggu oleh petani selama enam bulan. Serangan ini berlanjut hampir dua tahun.

Bila magrib tiba, tidak ada satupun warga yang berani untuk keluar. Masing – masing meringkuk dirumah untuk mencari aman. Karena takut bila mati diinjak gajah. Mata petani – petani ini hanya dapat melihat dengan menetes air mata, melihat gajah memakan dengan ganasnya tanaman mereka.

Gagal dengan panen kedelai, membuat petani ini beralih profesi menanam padi. Namun, lagi – lagi gajah beraksi, bila panen tiba kawanan gajah kembali mengusik petani. Hingga penderitaan semakin dalam. Dan jerat keputus asaan menyerang warga.

Petani kembali gigit jari dan hanya bersikap pasrah. Karena jumlah gajah yang menyerang kampung sangat banyak. Lebih dari 15 ekor dan mengobrak – abrik rumah penduduk. Keadaan pailit ini terbantu dengan bekerjanya sebagian besar petani di perusahaan sawit atau kertas milik perusahaan yang berada tak jauh dari desa seperti PT. Rama Bhakti, dan PT. Rokan.

Warga trans ini akhirnya bernafas lega, semenjak PT. Sinar Mas membuka lahan perkebunan ini membuat kawanan gajah tak lagi berkutik. Adanya larangan untuk membunuh satwa langka ini, membuat perusahaan harus menemukan strategi jitu. Upaya terakhir yang dilakukan dengan menggiring kawanan gajah ini menggunakan helicopter kearah hutan yang lebih jauh dari pemukiman gajah.

Lebih lanjut Ntin Rukmini, wanita asal Sunda ini mengatakan,”Keberhasilan yang dialami sekarang belum sebanding dengan penderitaan yang dulu dialami ketika pertama kali ke sini. Saya tidak ingin kembali lagi ke Cianjur karena desa ini telah memperbaiki keadaan ekonomi keluarga,” jawabnya dengan wajah berseri.

Setelah melalui perjuangan sangat pahit selama 15 tahun, akhirnya titik terang itu terlihat.
Sejak tahun 2000 petani kedelai ini beralih profesi menjadi petani sawit. Roda kehidupanpun berubah menjadi lebih baik. Bila harga sawit normal dengan kisaran Rp.1400,- per kilo pendapatan petani sebulan bisa mencapai 20 juta. Tak heran dengan financial yang cukup membaik, Desa Beringin Indah dipenuhi oleh rumah – rumah permanent dengan arsitektur yang cukup mewah sangat kontras dengan pemandangan daerah trans biasanya.

Masing – masing rumah dihiasi parabola, mobil, motor. Terlebih dengan adanya sekolah, masjid dan adanya generasi muda yang mengejar gelar sarjana. Dimata mereka, perbaikan financial yang dimiliki saat ini tetap membutuhkan pendidikan. Karena itu banyak anak – anak warga yang menempuh pendidikan di kota agar dapat memberikan sumbangsih bagi desa.

Menurut Wagiman, Sekdes Desa Beringin, meskipun secara kasat mata sebagian besar warga telah hidup makmur angka kemiskinan tak dapat dihindari. “Dari 1273 jiwa, angka kemiskinan mencapai 40 persen. Butuh perjuangan yang cukup tinggi untuk memperbaiki keadaan ini. Terlebih banyaknya warga baru yang berdatangan melihat keberhasilan warga,” ungkap pria yang pernah mengalami terusir dari Aceh.

Desa Beringin Indah sebagai potret keberhasilan pemerintah dalam memajukan daerah yang dulunya kota mati, hutan, gersang dan tidak ada kehidupan. Meskipun di dominasi suku Sunda dan Jawa, namun mereka dapat hidup berdampingan dengan harmonis.•Visi (ivo)

1 komentar: