Kamis, 06 Mei 2010

RUBRIK SASTRA DAN BUDAYA

ASAL USUL DANAU TUKULUK
Cerita Pusaka dari Desa Muara Nikum Kec. Rambah Hilir Rokan Hulu Riau
Oleh: Muslim (Mahasiswa FIB)

Di negeri Rambah terdapat sebuah danau yang di beri nama Danau Tukuluk (selendang). Menurut cerita rakyat setempat, di danau itu pernah dikisahkan seorang wanita menggunakan tukuluk yang tenggelam di dalam nya. Danau Tukuluk mempunyai kisah yang menarik, menurut orang tua-tua begini kisahnya.

Ratusan tahun yang lalu,tidak berapa jauh dari kampung Muara Nikum, Kecamatan Rambah Hilir, Kabupaten Rokan Hulu. Konon kabarnya di Dusun Imau Noleh, hiduplah sepasang suami istri. Mereka hanya memiliki seorang anak perempuan, yang bernama Gadih. Mata pencarian mereka berladang dan menderes kebun karet milik orang lain. Setiap hari sang ayah dibantu oleh sang ibu., menderes*) dan membersihkan ladangnya.

Sejak kecil, Gadih selalu dimanjakan dan disayangi orang tuanya. Apapun permintaan Gadih selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Karena selalu dimanja, Gadih tidak bisa bekerja dan memasak. Ia menjadi anak yang pemalas, ia tak pernah membantu orang tuanya di rumah. Ia lebih suka bermain dan berfoya-foya layaknya orang kaya. Ibarat bidal orang melayu, “gaya, gaya barat, lagu, lagu salung. Hidup melarat, tak tahu di untung.” itulah bidal yang sesuai untuk Gadih.

Setiap kali pulang bekerja di ladang, sang Ibu tidak pernah melihat rumahnya bersih, piring-piring di dapur selalu kotor. Jangankan memasak nasi, setitik air pun tak pernah dimasakkan oleh Gadih. Berulang ulang orang tuanya menasehatinya. Namun Gadih tak pernah berubah.
Bulan berganti bulan,tahun berganti tahun. Sang Ayah pun meninggal dunia. Beban berat biasa nya ditangggung berdua, sekarang terpikul di pundak sang Ibu. Mengayuh biduk rumah tangga, menempuh lautan kehidupan menghadang ombak dan gelombang. Oleh karena itu, untuk menghidupi dirinya dan si Gadih, ibu harus membanting tulang. Bisa dikatakan, setiap hari ibu bekerja di ladang peninggalan suaminya. Ia pun sering mengambil upah di ladang orang lain.

Suatu malam, sang ibu meminta Gadih untuk membantunya. “Dih…, padi di ladang sudah menguning. Kita harus segera menuainya, kalau tidak, habislah padi kita dimakan pipit, Nak…”. “Malas ke ladang, panas” ujar Gadih “Bantulah Mak, Nak. Biar cepat selesai. Kalau Emak bawa orang lain, Mak tak punya uang untuk membayarnya, nak.” “Aku akan ke ladang besok, tapi Mak harus membelikan aku tukuluk*) yang baru” ujarnya. “Terserah kau lah, Nak. Yang penting bantu Emak menuai. Sudah selesai, padinya kita jual. Separuh hasilnya untuk kebutuhan kita. Separuh nya lagi untuk acara seratus hari almarhum ayahmu.” Ujar sang ibu sambil menganyam tikar, yang hampir selesai.

“Dih, masakkan air, untuk kita bawa besok pagi” pinta sang ibu. “Emak saja, lah. Aku mau main” jawab Gadih, sembari keluar rumah.

Keesokannya hari nya, sebelum terbit fajar, sang ibu telah bangun. Ibu mulai memasak, menyiapkan bekal dan peralatan yang akan dibawa ke ladang. Setelah selasai, ibu membangunkan Gadih. “Ayo kita berangkat Nak” ujar ibu. Mereka pun berangkat ke ladang. Barang-barang yang dibawa ibu sangat banyak. Ibu meminta Gadih untuk membawakan sebagian, namun Gadih tak mau membantu ibunya. Walaupun baban ibu berat, ibu tetap membawanya. Sepanjang perjalanan ibu memikul bebannya. Sedangkan Gadih berjalan berlenggak-lenggok tanpa membawa satu barangpun.

Sesampainya diladang, ibupun mulai bekerja sedangkan Gadih asyik memakan bekal yang dibawa. “Ayo kita menuai padi, Nak.” Pinta ibu “Emak duluan saja, nanti aku menyusul” sahut Gadih. Ibupun pergi meninggalkan Gadih dan mulai manuai padi yang telah menguning. Burung pipit mulai berdatangan ke tengah ladang, seolah-olah berebutan dengan si ibu. Si ibu mengusir burung-burung itu.
Dan tidak disadarinya Gadih berdiri di belakangnya “Lihat burung pipit itu, Dih.” Kalau tidak cepat kita tuai padi-padi ini kita tak akan dapat padi. Cepat bantu Emak” ujar ibu. Gadih hanya berdiri saja di belakang ibu. “Cepatlah Dih, bantu Mak…” akhirnya dengan berat hati, Gadih pun mulai menuai padi. Tak lama kemudian, Gadih mengeluh “Panasnya…” keluhnya sambil berjalan menuju pondok. Kemudian ia berbaring di pondok tanpa mempedulikan ibunya yang berjemur di tangah ladang.
Akhirnya sang ibupun selesai menuai padi. Saat ibu membersihkan padi-padi dan mengolahnya, datanglah pembeli dari kampung sebelah. Bermaksud untuk membeli padi itu. Ibu hanya menjualnya separuh saja, tapi pembeli itu ingin membeli seluruhnya. Percakapan mereka terdengar oleh Gadih, ia pun menghampiri mereka. “Beli saja semuanya, Pak. Itu padi saya.” Ujar Gadih. Ibunya berkata “Tapi Nak, separuhnya untuk…” “Diamlah!” potong Gadih “Ambillah semuanya, Pak.” “Tak apa kah? Nanti emakmu marah” kata pembeli itu. “Dia bukan emakku, dia ini upahanku untuk menuai padiku ini.” ujar Gadih. Sang ibu terdiam mendengarnya dan meneteskan air mata.

Semua padi habis terjual. Benih padi yang telah dibersihkan ibu juga dijual oleh Gadih. Hasil penjualan padi diambil oleh Gadih. Sedikitpun tidak diberikan kepada ibunya, melainkan digunakan untuk berfoya-foya. Gadih membeli tukuluk. Berkali-kali ibu meminta agar Gadih menyisakan uang untuk acara seratus hari almarhum ayahnya. Namun Gadih tak mempedulikannya. Anak tetaplah anak, tak bisa dipisahkan. Seperti asap dengan api. Sebesar apapun kesalahan anaknya, sang ibu selalu bersabar dan mamaafkan Gadih. Akhirnya meskipun sederhana, ibu tetap bisa membuat acara seratus hari almarhum suaminya.

Hari-hari berikutnya, si ibu ingin kembali menanam padi, namun ia teringat kalau tidak memiliki benih padi lagi. “Kemana harus kucari bibit padi?” katanya dalam hati. Ibu meminta Gadih untuk menemaninya meminjam bibit padi ke ladang orang lain. Entah ada angin apa, Gadih mau menemani ibunya meminjam bibit padi. Di tengah perjalanan Gadih berkata pada ibunya “Nanti Mak diam saja, biar aku yang pinjam pada orang itu”, ujarnya. Ibu hanya mengangguk. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Gadih yang tak seperti biasanya.

Sampailah mereka di tempat yang dituju. Gadih memanggil pemilik ladang dan mengucapkan salam. Kemudian munculah si pemilik ladang. Mereka disambut dengan baik oleh pemilik ladang. Gadih masuk ke rumah, sedangkan ibunya hanya duduk di tangga saja. Sekian lama bercerita dengan pemilik ladang Gadih pun menyebut kan maksudnya.
“Adakah padi Ibu yang bisa kami pinjam?” “ada, Nak. Tapi belum dibersihkan” jawab pemilik ladang. Kemudian pemilik ladang itu turun ke luar rumah dan menuntun Gadih ke tempat benih padi disimpan. “itu padinya” sembari menunjuk sebuah goni*). “Bisakah kami pinjam, Bu? Nanti akan kami kembalikan” ujar Gadih, “Bawalah, tapi padinya harus dibersihkan dulu.” Ujar ibu itu. Gadih menghampiri ibunya dan berkata “Cepat bersihkan! Biar kita cepat pulang” perintah Gadih pada ibunya. Ibunya pun membersihkan padi itu, sedangkan Gadih asyik bercerita dengan ibu pemilik padi itu.

Setelah selesai membersihkan padi, ibu Gadih memasukan padi ke dalam goni, lalu duduk kembali di kaki tangga rumah pemilik padi. “Suruhlah emakmu masuk, biar kita makan bersama-sama.” Pinta pemilik padi. “Dia bukan emak ku, di pembantuku, biarkan saja dia di bawah” kata Gadih.
“Beri dia minum, Nak. Mungkin dia haus” “tidak usah, Bu. Dia bawa air”. Kemudian Gadih makan bersama Ibu pemilik padi itu. Sedangkan ibunya duduk saja di bawah rumah sambil menangis melihat perilaku anaknya itu. “Yah Allah…, apa salahku, sehingga Gadih bersikap seperti itu? Sadarkanlah anakkku, Ya Allah…” batinnya.

Setelah selasai makan, Gadih pamit pulang. “Ayo pulang!” ujar Gadih pada ibunya. Di tengah perjalanan, ibunya berhenti karena letih memikul padi. “Mak haus, Nak” “Makanya, kalau berjalan jauh, bawa air” ujar Gadih. “Ini Mak mu, nak. Bukan Babu mu. Ingatlah pada Allah, Nak. Adzab Allah sangat perih.” Kata ibu sambil menangis.
“Dari dulu Mak menagtakan adzab Tuhan… Adzab Allah…, mana?!” bentak Gadih sembari meninggalkan ibunya, dan ibunya pun menyusulnya dari belakang. Sadarlah kau, Nak. Ingat Allah…” teriaknya dari belakang.

Tak jauh dari kampung, saat Gadih melewati sebuah danau, Gadih terjatuh ke dalamnya. Danau itu tidak terlalu dalam, Gadih berusaha Berdiri, tetapi kakinya terasa berat, seolah-olah ada yang menariknya dari bawah. Badan Gadih semakin lama semakin terbenam. Ibu mencoba menolonganya, namun ia tak berdaya menarik Gadih. Ibu berteriak, dan pergi ke kampung minta pertolongan.

Orang-orang berkumpul, dan segera pergi ke danau tempat Gadih terjatuh tadi. Sampai di sana, Gadih sudah terbenam ke dalam lumpur danau. Mereka mencoba mencari Gadih, namun tak juga ditemukan. Hanya tukuluk milik Gadih yang mereka temukan.Sejak tenggelam nya gadih di danau itu,tak jarang warga kampung melihat sosok yang memakai tukuluk sambil menangis memanggil ibu nya.Mak….ampuni aku mak…..Tolong aku mak…. .Sejak kejadian itu, danau itu diberi nama “Danau Tukuluk”.

*) Menyadap pohon karet
*) Selendang
*) Karung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar